Tingkat keterwakilan perempuan dalam politik di Indonesia masih rendah. Badan Pusat Statistik (BPS) menyebut, perempuan dalam parlemen pada 2019 hanya mencapai 20,8% dari batas minimal 30% sesuai Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 Tentang Partai Politik.
Fakta tersebut diprediksi belum akan membaik pada pemilihan umum (pemilu) 2024. Pasalnya Komisi Pemilihan Umum (KPU) menerbitkan Peraturan KPU (PKPU) Nomor 10 Tahun 2023. Aturan ini akan memangkas keterwakilan perempuan dalam parlemen sehingga berpotensi menyempitkan kembali peluang perempuan dalam bidang politik.
Bagi Titi Anggraini, anggota Dewan Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), PKPU tersebut sangat mengkhawatirkan. Ia menilai Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah menyimpangi Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 22E.
"Prinsip utamanya adalah keterwakilan perempuan sebagai calon anggota legislatif (caleg) Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) paling sedikit 30%," kata Titi dalam kanal YouTube CNN Indonesia, dikutip Jumat (9/6/2023).
Baca Juga:Perempuan Tidak Layak Menjadi Pemimpin? Antara Stigma, Data, dan Fakta yang Berbicara
KPU, kata Titi, telah gagal mengedukasi masyarakat terkait kepemiluan. Hasilnya KPU hanya bermain retorika berujung lahirnya misinformasi di tengah-tengah masyarakat.
"KPU seharusnya mengedukasi masyarakat secara menyeluruh, holistik, proporsional, dan tepat. Jangan bermain retotika dan penggunaan perasaan yang justru bisa membuat misinformasi terhadap publik," jelasnya.
Terlebih, kata pengajar kepemiluan Fakultas Hukum Universitas Indonesia ini, KPU berani membelokkan substansi undang-undang dengan memakai "rumus matematika" yang sebenarnya tidak diperlukan.
"Kalau kita tidak memerlukan rumus-rumus itu, untuk apa digunakan. Jadi, jangan membawa perdebatan itu keluar dari konteks karena telah menyalahi UU Pemilu Pasal 245," tambahnya.
Dalam PKPU tersebut, menurut Titi, "rumus matematika" yang dipakai KPU menghasilkan penghitungan yang dibulatkan ke bawah sehingga nilainya akan kurang dari 30%. Rumus ini akan mendistorsi keterwakilan perempuan paling sedikit 30% menjadi kurang dari 30%.
Titi menegaskan bahwa KPU sudah semestinya melaksanakan undang-undang. Yang dilakukan penyelenggara pemilu itu justru telah mendistorsi, melanggar, dan menyimpangi undang-undang dan konstitusi yang ada.
"Kalau komitmennya (undang-undang) minimal sekali 30%, maka jelas tidak boleh kurang," tegas Titi.
Perlu diketahui, PKPU Nomor 10 Tahun 2023 pada Pasal 8 Ayat 1(C) berbunyi daftar bakal calon wajib memuat keterwakilan perempuan paling sedikit 30% di setiap daerah pemilihan (dapil).
Sementara dalam Pasal 8 Ayat 2 undang-undang tersebut berbunyi, penghitungan 30% jumlah bakal calon perempuan di setiap dapil menghasilkan angka pecahan maka apabila dua tempat desimal di belakang koma bernilai: a) kurang dari 50, hasil penghitungan dilakukan pembulatan ke bawah, atau b) 50 atau lebih, hasil penghitungan dilakukan pebulatan ke atas.